Posted by: Syukron Tanzil | January 1, 2016

Sekilas Profil Habib Alwi bin Abdurrahman Al-Habsyi; dari Yang Muda Yang Berdakwah

Jangan pernah ada kata cukup untuk ilmu. Penat dan berat yang dialami adalah bagian dari kemuliaan menuntut ilmu

image

Tahun 1989 adalah tahun yang sangat berat dirasakan Habib Alwi Al-Habsy. Ayah, yang baru dikenalnya selama Sembilan tahun, meninggalkan dia dan empat orang saudara untuk selama-lamanya. Umminya, syarifah Qamar binti Abdul Qadir Al-Habsy, kemudian membesarkan Habib Alwi kecil dan saudara-saudaranya. Setahun setelah wafatnya sang abah, ia dan kakak sulung, Habib Abu Bakar, dengan seizin anggota keluarga, pergi ke Lawang, Malang, Jawa Timur, demi menuntut ilmu. Hingar binger Kebayoran Lama, Jakarta, tempat mereka dilahirkan, seolah tidak dihiraukan lagi. Padahal, anak seusianya lebih memilih tinggal bersama keluarga di kota yang nyaman dan lengkap dengan berbagai fasilitas.

Di Lawang, Alwi kecil tentunya harus berjauhan dari orang-orang yang dicintainya, dan itu sangat menguji kesabarannya. Tahun demi tahun dilalui Alwi kecil hingga dikemudian hari ia memetik buah ketabahan dan kesabran itu, yakni cucuran rahmat Allah Ta’ala yang amat disyukurinya dalam kehidupannya sekarang.

Habib Alwi bin Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsy telah mengecap buah kesabarannya menghadapi pahit getirnya menimba ilmu di waktu kecil dulu. Senada dengan kisah hidupnya, dalam diwan-nya, imam Syafi’I rahimahullah berkata, “Man lam yadzuq murrat ta’allumi sa’atan, tajarra’a dzullal jahli thula hayathi (Siapa yang tidak merasakan sekejap pahitnya menuntut ilmu, akan meneguk hinanya kebodohan sepanjang hidupnya).”

Kini ia bukan saja dikenal sebagai da’i muda yang andal, tapi juga Pembina dan pengajar 36 majlis ta’lim yang tersebar di seantero Jabodetabek. Majlis ta’lim yang diasuh di kediamannya pun telah menjadi magnet tersendiri bagi para muhibbin. Saban malam Kamis tidak kurang dari enam ratus kawula muda meluberi majlisnya. Sedangkan Ahad subuh, lebih dari empat ratus asatidz menghadiri pengajian yang diasuhnya.

Bila tiba masa peringatan Maulid, Majlis Maulid yang diselenggarakannya dihadiri puluhan ribu orang yang memenuhi jalan-jalan perkampungan kecil di kawasan Srengseng Kembangan, Jakarta Barat.

Ghirah Ilmu dan Cinta Guru

Pengembaraan dua kakak-beradik itu terhenti di Pesantren Darun Nasyi’in di bawah asuhan Habib Muhammad bin Husein Ba’bud, Lawang Malang. Ustadz Muhammad, demikian ia disapa oleh para santri, sangat menyayangi Alwi, terlebih setelah diketahui bahwa Alwi telah ditinggalkan ayah. Setiap malam, Alwi kecil menemani sang murrabi (pendidik) mengasuh pengajian hingga waktunya melepas lelah di pembaringan. Habib Muhammad, Allah yarhamuh, mendidik dan mengasuhnya seperti anaknya sendiri, padahal Habib Muhammad saat itu sudah sepuh. Sayangnya, kehangatan yang diperoleh Alwi kecil terasa hanya sebentar. Pada tahun 1993, Habib Muhammad menemui Sang Khaliq. Putra Habib Muhammad, Habib ali bin Muhammad Ba’bud, menggantikan sang ayah mengasuh pesantren yang memiliki ribuan santri itu.

Kasih sayang yang ditunjukkan keluarga Ba’bud tidak pernah luntur. Sosok Habib Ali, yang dikenal sebagai pendidik yang brilian, memberi kesan tersendiri baginya dan turut membentuk karakternya. Namun, sekalipun sudah dianggap seperti anak, Alwi kecil tetap harus menjalani tempaan belajar sebagai santri Darun Nasyi’in. kasih sayang, ketegasan, dan kemandirian hidup membentuk karakternya hingga kini.

Delapan tahun Habib Alwi menghabiskan masa kecil dan remajanya di Pesantren Lawang. Selepas itu, ia kembali ke Jakarta. Ia sempat bekerja di Jakarta dan Semarang untuk memenuhi kebutuhan hidup serta membantu membiayai adik-adiknya, meringankan beban ibunya. Tapi ghirahnya pada ilmu tetap membara. Timbul keinginan yang besar untuk melanjutkan mengaji kepada Habib Zein bin Sumaith di kota Nabi, Madinah. Namun keinginan itu belum dapat ia wujudkan, terutama karena kondisi keuangan.

image

Pada tahun 1999, sembari mengaji kepada Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan di Al-Fakhriyyah, Ciledug, Tangerang, Banten, ia mencari informasi dan jalan untuk belajar ke Darul Musthafa, Hadramaut. Setahun kemudian, berkat bantuan saudara ayahnya yang dikenal sebagai pengusaha property yang sukses dan dermawan, Habib Ismeth bin Abdullah Al-Habsyi, ia berangkat menuju Hadramaut, Yaman.

Habib Alwi adalah santri angkatan kedua asal Indonesia yang mengenyam pendidikan di Pesantren yang diasuh Guru Mulia Al-Hafizh Al-Musnid Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz.

Mulanya, lamanya waktu belajar di Darul Musthafa adalah dua tahun, ketika menginjak tahun ketiga, Habib Alwi menulis surat permohonan kepada Habib Umar agar diberi kesempatan setahun lagi untuk mengenyam pendidikan dikelas takhashush yang disebut daurah. Permintaan itu dikabulkan Habib Umar bin Hafidz. Selama tiga tahun menimba ilmu di Hadramaut, ia juga berkesempatan mengaji kepada Habib Hasan Asy-Syathiri di Rubath Tarim, yang biasanya diadakan pada masa-masa liburan. Pada kesempatan di musim haji, ia, bersama beberapa santri dan Tuan Guru Mulia, berkesempatan mengunjungi kediaman Abuya Imamul Muhadditsin Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani di Rushaifah, Makkah. Baginya, kesempatan-kesempatan itu memberi kenangan yang tiada ternilai dalam
kehidupannya hingga kini.

Getir Manisnya Berdakwah

Pada tahun 2003, Habib Alwi Al-Habsyi menginjakkan kaki kembali di tanah air. Walau ia jebolan Darul Musthafa, bukanlah hal yang mudah untuk mendapatkan akses dalam mengajar dan berdakwah. Ia hijrah ke Depok, Bogor, Jawa Barat, untuk berdakwah. Tak jarang ia mengalami pahit getirnya berdakwah.

Pernah ketika ia akan memberikan ta’lim, masjid yang akan didatanginya dikunci pagarnya. Bahkan ia pernah diusir saat sedang mengajar. Namun ujian demi ujian yang dihadapinya tidak membuat goyah dan melunturkan semangat berdakwah. Ia selalu teringat pesan sang guru, Habib Umar Bin Hafidz, tentang penggemblengan jiwa. Habib Umar mengajarkan tiga hal yang tidak boleh terlepas dari seorang alumnus Darul Musthafa; tahqiqul ‘ilm (mewujudkan ilmu dengan mengamalkannya), suluk (keluhuran pekerti dengan menjalani thariqah Ba’alawi), dan iblaghul haq (menyampaikan kebenaran kepada siapa saja).

Peran sang pendamping hidup, Syarifah Nur Fitriyah Al-Habsyi, pun sangat besar. Laksana Syarifah Khadijah binti Khuwailid, yang selalu menyokong dakwah sang suami, makhluk yang mulia, Rasulullah SAW, Syarifah Nur pun senantiasa memberikan perhatian pada tugas mulia yang diemban Habib Alwi. Sejak empat tahun terakhir ini, Habib Alwi beserta istri dan dua buah hatinya yang masih kecil dan sedang lucu-lucunya, Habib Muhammad Nuh Al-Habsyi dan Habib Ali Al-Habsyi, berhijrah kesebuah perkampungan Betawi yang asri, Jalan Mawar, srengseng Kembangan, Jakarta barat. Di kampung ini, penerimaan masyarakat terhadap dirinya dan keluarga sungguh luar biasa. Majelis yang dibinanya kian hari kian banyak dihadiri jama’ah sekitar kediamannya. Bahkan kini jama’ahnya berdatangan dari berbagai penjuru di pinggiran Jakarta Barat dan Tangerang. Rumahnya pun tiap hari disambangi jama’ah, baik yang ingin berkonsultasi, mengaji, maupun bersilaturahim.

Setiap malam Kamis, majelisnya dihadiri ratusan kaum muda. Ia mengisi pengajian dengan pembacaan Ratib Al-Haddad dan kajian kitab Riyadhush Shalihin. Sedangkan pada setiap Ahad pagi ba’da subuh, ia mengawali ta’lim dengan pembacaan Wirdul Lathif, dilanjutkan dengan mengajar kitab Risalatul Mu’awanah dan Risalatul Mudzakarah, yang diikuti lebih dari empat ratus asatidz.

Selama empat tahun Majelis Ta’lim Raudhatul Habib SAW, yang diasuhnya. Telah dikhatamkan dan diijazahkan empat buah kitab, diantaranya Kitab Adab suluk al-Murid dan Kitab Bidayatul Hidayah. Kini majelisnya tengah melebarkan sayap dengan membangun sebuah bangunan permanen seluas 150 meter persegi di Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Di lahan yang diwakafkan seorang dermawan itu, rencanya Majelis Ta’lim Raudhatul Habib SAW akan memusatkan semua kegiatan dakwahnya, termasuk pembinaan 36 majelis yang diasuh Habib Alwi di seantero Jabodetabek.

Mudawamah Mengaji

Keluarganya adalah orang-orang yang cukup disegani di kalangan Alawiyyin. Buyutnya, Habib Abu Bakar bin Muhammad Al-Habsyi, adalah salah satu tokoh pendiri Jamiat Kheir dan Rabithah Alawiyah.

Sekalipun ia memiliki datuk-datuk yang dihormati karena ilmu dan kedermawanan mereka, tidak serta merta itu membuat Habib Alwi bersikap sombong. Begitu pun dengan dirinya, yang telah mengajar di banyak majelis dan membina majelis yang cukup disegani, tidak membuat Habib Alwi besar kepala dengan ilmu dan ketenaran. Ia sangat memegang erat tuntunan Thariqah Ba’alawi, yang mengajarkan qana’ah (kesederhanaan) dan khumul (tidak mencari popularitas).

Hingga kini, bersama lima rekan dekatnya yang sama-sama dikenal sebagai da’i dan guru, secara mudawamah (berkesinambungan) mengaji kepada Habib Abdullah al-Kaf Cipulir dan Habib Umar bin Abdullah Alatas. Dengan Habib Abdullah, ia mempelajari thariqah Alawiyah; sedangkan dengan Habib Umar, ia mengaji Sembilan kitab yang berlangsung dari pagi hingga menjelang ashar, sepekan sekali.

Mengaji dan mengajar ibarat air yang dituang ke dalam gelas. Bilamana gelas penuh dengan air, perlu dituang ke gelas lainnya. Ilmu pun bukan sesuatu yang diperoleh dengan mudah dan instan. Ilmu juga harus melalui jalur yang jelas dan tasalsul (bersambung).

Itulah yang diajarkan agama, “Al-Isnad minad din laulal isnad laqala ma qala (mata rantai ilmu itu bagian dari ajaran agama. Jika tanpa mata rantai seseorang semaunya mengatakan apa yang dapat dikatakannya)”.
Habib Abdullah Al-Kaf-lah yang banyak menyokong secara moril. Majelis Raudhatul Habib SAW dinamai oleh Habib Abdullah Al-Kaf. Dipilihnya rumah yang asri yang kini didiaminya di Srengseng juga atas petunjuk gurunya tersebut.

Tentang Habib Umar Alatas, ia menyatakan kekagumannya atas semangat sang guru yang tak pernah padam sekalipun telah sangat sepuh. Ia tidak merasa penat, sekalipun dengan telaten membaca Sembilan kitab dan menjelaskannya kepada murid-muridnya sejak pukul Sembilan pagi hingga matahari akan tenggelam.

Cinta Ibu dan Kasih Guru

Dalam wawancaranya dengan alKisah di penghujung Ramadhan 1430 H, ketika mengutarakan kecintaan orang-orang yang dicintainya, buliran air mata membasahi wajah tampannya. Habib Alwi teringat akan guru-gurunya, di antaranya Habib Muhammad Ba’bud lawang, Habib Umar Bin Hafidz, dan Ibu, yang melahirkan dan membesarkannya.

Tentang sang ibu, ia teringat kepada Habib Abu Bakar Assegaf Gresik shahibul karamah (yang memiliki karamah). Alkisah, kapanpun ibunya datang, Habib Abu Bakar senantiasa bangun, berdiri, dan menghampiri sang ibu, lalu ia kecup kedua tangan ibunya, sekalipun dihadapannya ada ribuan manusia yang tengah menyimak ta’limnya. Ia baru melanjutkan pengajiannya kembali ketika ibunya telah selesai dengan keperluannya dengan dirinya. “Itulah sesungguhnya salah satu ajaran utama di kalangan ahlul bayt dzurriyyah rasulullah SAW, sikap terhadap guru dan orang tua, yang membesarkan kita”, kata Habib Alwi.

Habib alwi menyitir ucapan Imam Ja’far Ash-Shidiq, salah satu dzurriyyah Rasulullah SAW. Ada empat “perintah” bagi dzurriyyah Nabi SAW yang “tidak boleh ditentang”. Pertama, qiyamuhu min majlisihi li abihi (bangun dari majelis ketika orang tuanya datang), sebagaimana yang dilakukan Habib Abu Bakar Gresik tadi. Kedua, khidmatuhu li dhaifih (melayani tamu yang bertandang ke kediamannya). Ketiga, qiyamuhu ‘ala dabbatihi (mandiri tidak tergantung kepada orang lain). Yang keempat, khidmatuhu liman yata’allamu minhu (melayani orang yang ingin belajar kepadanya).

image

Usia boleh muda, tetapi ilmu dan akhlaqlah yang membuat seseorang dituakan di tengah masyarakat dan umat. Habib Alwi termasuk dalam kriteria tersebut. Ia dituakan dan menjadi tokoh ulama muda di tengah-tengah lingkungan tempat tinggalnya. Dalam sebuah syair dikatakan. “Al-‘Alimu kabirun walaw kana shaghiran wal jahilu shaghirun walaw kana syaikhan (Orang alim itu besar sekalipu ia masih muda, sebaliknya orang jahil itu kecil sekalipun ia berusia tua)”.

Memungkasi perbincangan dirumahnya yang teduh dan sederhana, habib yang apa adanya ini mengingatkan betapa pentingnya perubahan hidup yang lebih baik bagi setiap insan muslim pasca berlalunya bulan Ramadhan dan Syawal ini. Seseorang, katanya, hendaknya mengoreksi dirinya, apakah kualitas dirinya kini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, ataukah tidak.

Hal lain, ditambahkannya, tentang keberadaan majelis-majelis ta’lim dan dzikir. Majelis-majelis ini sangat dibutuhkan masyarakat, ketika banyak orang terperosok dalam dunia materialism, sekularisme, dan isme-isme yang jauh dari ruh Islam, yang diajarkan Nabi SAW dan para salafush shalih.

Sumber: alKisah 21/19 Okt-1 Nov 2009


Responses

  1. shollu ala nabi

  2. dan alahamduliilah dikasih kesempatan untuk foto bersama dengan beliau juga..

  3. al-hamdulillah beliau sudah pernah tausiyah dikampung saya ditaktakan serang banten, tentunya dengan nasihat yg begitu luar biasa,, solllu ‘alann nabii.


Tinggalkan Komentar

Categories